“Awalnya, kami 14 lembaga ini diberikan lahan 2 hektare untuk diolah, tapi hasil produksi kami nanti harus dijual ke pihak PT Antam dengan harga pembelian 10 dollar, ditambah potongan oleh konsorsium yang merupakan bagian dari PT. LAM sekitar 1.5 dollar," jelasnya.
“Sehingga, untuk bersih yang kami terima hanya 8,5 dollar saja. Bagaimana bisa kami mau terima, biaya produksi saja sekitar 6-7 dollar ditambah lagi biaya barging ke jetty itu semua kami yang tanggung, ” tambahnya.
Oleh karena itu, Almahendra bersama 14 lembaga yang dipimpin oleh putra daerah asli Konawe Utara mewarning adanya framing pemberdayaan masyarakat atau pengusaha lokal Konut.
Menurutnya, kerjasama yang ditawarkan oleh PT Antam dan PT LAM bukan upaya peningkatan kesejahteraan tetapi merupakan bentuk pembodohan.
“Kami harap tidak ada lagi framing-framing pemberdayaan masyarakat dan pengusaha lokal. Karna kami tau persisnya seperti apa. Itu bukan untuk mensejahterakan kami tetapi malah memanfaatkan kami untuk bekerja keras untuk mereka, ” ungkapnya.
Mahasiswa Pascasarjana UHO itu juga menyayangkan sikap PT Antam dan PT LAM. Sebab, ditengah naiknya harga nikel, pihaknya justru merasa diperbodohi dengan pembelian yang sangat murah.
“Harga nikel saat ini hampir tembus 70 dollar dan kami hanya diberikan 10 dollar saja. Sementara kami yang bekerja dari awal sampai akhir, sedangkan mereka (PT Antam) hanya tau beres," tutupnya.
Hingga berita ini dipublish, pihak PT LAM masih enggan memberikan keterangan terkait hal ini.