BPK Diminta Audit Data Penerimaan Negara Dari HIlirisasi Nikel

- 17 Oktober 2022, 16:43 WIB
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto. /Andri/Man/

KENDARI KITA-Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diminta mengaudit data penerimaan negara dari hilirisasi nikel. Permintaan audit ini diungkapkan Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto.

Mulyanto menilai, kenaikan penerimaan negara dari Rp 15 triliun menjadi RP 350 triliun yang diklaim pemerintah sangat meragukan

Angka tersebut, menurut Mulyanyo, bukan penerimaan negara, melainkan total nilai ekspor nikel oleh perusahaan smelter asing yang ada di Indonesia.

Baca Juga: Tugas Liputan Berujung Penetapan Tersangka, Kinerja Polsek Wangiwangi Selatan Disoroti

"BPK harus dapat memastikan berapa nilai penerimaan negara sebenarnya dari program hilirisasi nikel. Sebab angka yang disampaikan Pemerintah terlalu bombastis dan tidak masuk akal," kata Mulyanto, dilansir laman dpr.go.id, Senin, 17 Oktober 2022.

Karena itu, Mulyanto meminta pemerintah serius menangani persoalan keakuratan data penerimaan negara, terlebih angka tersebut berpengaruh besar terhadap laporan keuangan negara.

Baca Juga: Soroti Keberadaan Jetty 2 PT TMS, Kades Tapuhaka-Kabaena Timur : Perairan Tercemar, Nelayan Merugi

Pemerintah lanjut Mulyanto, harus transparan menjelaskan besaran penerimaan negara dari hilirisasi nikel agar tidak terjadi salah tafsir.

"Jangan-jangan angka itu bukan penerimaan negara namun sekedar angka ekspor nikel yang dilakukan oleh industri smelter asing, yang keuntungannya terutama dinikmati oleh investor smelter tersebut. Dan sama sekali, bukan merupakan penerimaan negara. Ini kan beda jauh tafsirnya," kata Mulyanto.

Baca Juga: Rakornas KI Se-Indonesia, Komisi Informasi Sultra Dorong Penguatan dan Sinergisitas Kelembagaan

Mulyanto lebih jauh mengingatkan agar pemerintah menjelaskan detail dan gamblang dari mana saja sumber penerimaan negara itu berasal, mengingat selama ini industri smelter bebas dari pajak ekspor atau bea keluar.

Penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi (NPI)  berlaku pada tahun 2022.  Itu pun baru sebatas rencana.

Baca Juga: Dugaan Perselingkuhan : Kasi Sarpras Dikbud Sultra Dikabarkan Miliki WIL

"Sementara mereka juga mendapat insentif pembebasan pajak atau tax holiday (pph badan) selama 25 tahun. Tidak pula membayar pajak pertambahan nilai (ppn). Dan karena tidak menambang dan hanya membeli ore dari penambang dengan harga murah, maka industri smelter tidak membayar royalti tambang sepeserpun," ungkap Mulyanto.
 
Bahkan, lanjutnya, Pekerja yang didatangkan dari luar negeri ditengarai tidak menggunakan visa pekerja, melainkan berstatus turis, dan merupakan tenaga kerja kasar. Hal ini kembali menggerus penerimaan negara.

Baca Juga: Seorang Nelayan di Muna Tewas Diterkam Buaya, Sempat Diselamatkan Warga

"Jangan-jangan dengan fasilitas insentif fiskal dan non-fiskal yang super mewah untuk program hilirisasi nikel yang ada ini malah merugikan kas keuangan negara," katanya.

Karena itu Politisi Fraksi PKS ini mendesak Pemerintah melakukan evaluasi komprehensif program hilirisasi nikel ini sebelum berlanjut pada hilirisasi tambang lainnya seperti timah dan bauksit.

"Harus clear dahulu road map tahapan industri dan produk hilirisasinya, sehingga diharapkan benar-benar tumbuh industri dengan nilai tambah tinggi dan dengan multiplier effect yang besar bagi masyarakat. Jangan sekedar hilirisasi yang menjadi subordinat proses industrialisasi di Cina, yang mengeskpor produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah," pungkasnya.

Baca Juga: Pengedar Sabu Modus Tempel Dibekuk Polisi di Kendari, Barang Bukti 26, 18 Gram

Untuk diketahui, Presiden RI Jokowi, kembali menyampaikan dalam Peresmian Pembukaan Investor Daily Summit 2022, bahwa hilirisasi industri mampu meningkatkan hasil ekspor Indonesia. Dia mencontohkan, nilai ekspor komoditas nikel bertambah dari Rp15 triliun menjadi Rp360 triliun setelah proses hilirisasi.***

Editor: Mirkas

Sumber: dpr.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x