Pendapat Ulama Mengenai Perempuan Hamil yang Berpuasa

- 26 Maret 2023, 23:24 WIB
Ilustrasi perempuan hamil.
Ilustrasi perempuan hamil. /Pixabay.com/

KENDARI KITA-Anjuran ibadah dalam Islam tentu memiliki manfaat bagi kehidupan muslim itu sendiri. Baik dunia dan akhirat.

Denikian pula, tak ada anjuran ibadah yang membebankan umat muslim.

Hal ini juga berlaku bagi kaum perempuan yang sedang mengandung (hamil).

Baca Juga: Jadwal Imsak Kota Kendari dan Sekitarnya, 5 Ramadhan 1444 Hijriah, 27 Maret 2023

Apakah perempuan hamil tergolong orang yang mendapatkan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa?

Menurut ulama,  perempuan yang sedang hamil memiliki ketentuan yang sama dengan orang yang sakit dalam anjuran melaksanakan atau menanggalkan ibadah puasa.

Tidak semua perempuan hamil wajib berpuasa dan juga tidak semua perempuan hamil boleh meninggalkan kewajiban puasanya.

Baca Juga: Bupati Mubar: Kades yang Terlibat Politik Praktis Bakal Disanksi Tegas

Yang membedakan antara keduanya adalah kondisi fisik dan mental perempuan hamil itu sendiri.

Sama halnya dengan orang sakit, perempuan hamil secara umum memiliki tiga keadaan yang memiliki konsekuensi hukum yang berbeda terkait wajib-tidaknya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Tiga keadaan ini secara dijelaskan dalam kitab Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain:

Baca Juga: Horoskop Cinta Capricorn, Aquarius dan Pisces Hari Ini: Hormati dan Rangkul Perbedaan

Artinya: Bagi orang sakit terdapat tiga keadaan. Pertama, ketika ia menduga akan terjadi bahaya pada dirinya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka makruh baginya berpuasa dan boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kedua, ketika ia yakin atau memiliki dugaan kuat (dhann) akan terjadi bahaya atau uzur yang mengenainya akan berakibat pada hilangnya nyawa atau hilangnya fungsi tubuh, maka haram baginya berpuasa dan wajib untuk tidak berpuasa. Ketiga, ketika rasa sakit hanya ringan, sekiranya ia tak menduga akan terjadi bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka haram baginya tidak berpuasa dan wajib untuk tetap berpuasa selama tidak khawatir sakitnya bertambah parah. Sama halnya dengan orang yang sakit adalah petani, nelayan, buruh, perempuan hamil dan menyusui, meskipun kehamilan hasil dari zina atau wathi syubhat. (Syekh Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain, juz 1, halaman: 367)   

Maksud dari bahaya yang sampai memperbolehkan tayammum adalah dengan berpuasa saat sakit yang sedang menjangkit dan  akan bertambah lama sembuhnya atau menjadi semakin parah.

Baca Juga: Rajab Jinik Sebut Pengadaan Mobil Dinas Baru Pejabat Pemkot Kendari Kebijakan yang Konyol

Hal ini disampaikan oleh ulama Syekh Ibnu Hajar al-Haitami:

Artinya: Sekiranya dengan berpuasa akan terasa berat bagi orang yang sakit atau khawatir sebab puasa sakitnya akan bertambah parah, lama sembuh atau hal-hal lainnya yang dapat memperbolehkan bertayamum, berpijak pada pendapat Syaikhaini. Dikutip dalam kitab al-Majmu’ dari Ashab sekiranya seseorang akan merasa payah (lemas) dengan berpuasa dalam kondisi sakit lalu menimpa padanya bahaya yang berat ia menanggungnya, atas penjelasan yang telah aku sebutkan berupa berbagai macam bahaya dalam tayamum. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 2, halaman: 62)   

Sedangkan dalam konteks perempuan hamil,  dalam kondisi diperbolehkan tidak puasa, maka terkait kewajiban mengganti puasanya terdapat dua perincian.

Baca Juga: Dianggap Miliki Kinerja Buruk, GMPK Minta Kemendagri RI Segera Evaluasi PJ Walikota Kendari

Pertama, ketika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap kondisi fisiknya atau khawatir kondisi fisiknya sekaligus kondisi kandungannya, maka dalam dua keadaan tersebut ia hanya diwajibkan mengqadha’i puasanya saja.

Kedua, ketika ia hanya khawatir pada kondisi kandungannya, dalam keadaan demikian ia berkewajiban mengqadha puasanya sekaligus membayar fidyah.

Artinya: Perempuan hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada diri mereka, atau khawatir pada diri mereka dan bayi mereka (seperti yang diungkapkan dalam kitab Syarh al-Muhadzab), maka wajib mengqadha’i puasanya saja, tanpa perlu membayar fidyah, seperti halnya bagi orang yang sakit. Sedangkan ketika khawatir pada kandungan atau bayi mereka, maka wajib mengqadha’i puasa sekaligus membayar fidyah menurut qaul al-adzhar. (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi ala al-Mahalli, juz 2, halaman: 76).   

Baca Juga: Berikut 10 Nama Calon Komisioner KPU Provinsi Sultra yang Lolos ke Tahap Berikutnya

Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan khawatir terhadap kondisi kandungan jika tetap berpuasa, adalah kekhawatiran akan gugurnya kandungan jika ia tetap melaksanakan puasa sampai selesai.

Hal ini dikemukakan dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin:

Artinya: Yang dimaksud dengan ‘khawatir pada kandungan’ adalah khawatir gugurnya kandungan (apabila melanjutkan puasa) bagi orang yang sedang hamil. (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatho, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, halaman: 273).   

Kesimpulannya, hukum dasar melaksanakan puasa bagi perempuan hamil adalah wajib.

Baca Juga: Tanggal Pelaksanaan Cuti Bersama Idul Fitri Dipercepat Dua Hari, Menhub RI Ajukan Usulan Ini ke Presiden RI

Namun kewajiban ini akan gugur jika ia memiliki dugaan (wahm, bahwa  jika ia tetap berpuasa maka akan membahayakan terhadap kesehatannya, seperti akan bertambah sakit atau fisiknya melemah.

Bahkan bila sampai pada keyakinan atau dugaan kuat akan membahayakan fisik sang ibu dan keselamatan janin, ia wajib tidak berpuasa demi menjaga nyawa manusia (hifdh an-nafs).   

Sebaiknya,  perempuan hamil tidak mengira-ngira tentang kondisi kesehatan fisiknya dan kesehatan kandungannya, melainkan meminta bantuan kepada dokter kandungan muslim (bidan) yang mampu memperhitungkan apakah yang maslahat baginya adalah berpuasa atau tidak.

Baca Juga: Polemik Aturan Pelarangan Pakaian Bekas, Ini Kata Legislator Senayan

Jika menurut dokter kandungan puasa tidak mengganggu  kesehatan fisiknya dan janinnya,  maka tetap wajib baginya untuk berpuasa.

Sebaliknya, jika menurut dokter kandungan, berpuasa dapat berpotensi membahayakan fisik dan janinnya, maka kewajiban berpuasa menjadi gugur baginya. Wallahu a’lam.***

Editor: Mirkas

Sumber: nu.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x