Kata Pakar Soal Dampak Krisis Iklim Terhadap Populasi Imigran dan Pengungsi di Negara Berkembang

- 11 Januari 2023, 15:49 WIB
Ilustrasi camp pengungsian
Ilustrasi camp pengungsian /Freepik.com/pressmaster/

KENDARI KITA-Kepala eksekutif Komite Penyelamatan Internasional atau International Rescue Committee (IRC), David Miliband mengatakan, populasi yang hampir tak terlibat sebagai penyumbang krisis iklim di dunia ini, justru terkena dampak yang paling parah.

Menurut Miliband, populasi yang dimaksud yakni lebih dari 100 juta migran dan pengungsi yang tersebar di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang.

Baca Juga: Kuasa Hukum Eks Dansat Brimob Polda Sultra Ungkap Fakta Dibalik Gugatan PT ANA

“Kami telah melakukan pekerjaan yang sangat buruk dalam bekerja sama dalam hal ini. Itu sangat merusak mengingat migran dan pengungsi ini adalah orang-orang yang paling rentan, terutama di belahan dunia yang dilanda konflik. Orang-orang ini telah berbuat paling sedikit untuk berkontribusi pada krisis iklim, tetapi termasuk yang terkena dampak paling parah," kata Miliband, melansir laman Theguardian, Rabu, 11 Januari 2023.

Persoalan ini kata David, tak banyak disinggung dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim PBB Cop27 di Mesir akhir tahun lalu. Karena itu, ia berharap tema krisis iklim akan mengemuka di pertemuan berikutnya yang diagendakan tahun 2023.

Baca Juga: Sowan ke DPP Nasdem di Jakarta, KSK Digadang-gadang Jadi 'The Next Gubernur Sultra'

Cop27 merupakan konferensi dibawah naungan PBB yang membahas kondisi iklim di seluruh dunia. Cop27 melahirkan kesepakatan bahwa negara-negara miskin yang paling parah terkena dampak kerusakan iklim harus menerima dana bantuan untuk membantu mereka pulih dan membangun kembali kehidupan mereka setelah episode cuaca ekstrem berlalu.

“Tidak diragukan lagi bahwa beberapa hal yang mendorong jumlah pengungsi adalah konflik dan perubahan iklim. Perubahan iklim memiliki efek langsung dan tidak langsung pada migrasi, baik sukarela maupun terpaksa. Ini umumnya mengarah pada pengungsian internal, atau arus migrasi di dalam negara itu sendiri,” ungkap Miliband.

Baca Juga: Dua Remaja di Sulsel Terlibat Pembunuhan Berencana, Polisi: Pengaruh Sosial Media

Sekitar 55 juta orang di seluruh dunia mengungsi secara internal di negara mereka sendiri. Jumlah ini terbilang lebih banyak dari jumlah populasi yang melarikan diri dari negaranya ke negara lain dengan melintasi perbatasan.

Tahun 2022, PBB mencatat 100 juta warga dunia yang terpaksa mengungsi, nekat melarikan diri melintasi perbatasan internasional.

Baca Juga: Ramalan Zodiak 11 Januari 2023: Gemini Harus Hemat Energi dan Percaya Diri

Miliband memperingatkan bahwa negara-negara miskin membutuhkan lebih banyak dana untuk melindungi diri dari dampak cuaca ekstrem, yang sekaligus membantu mencegah orang terpaksa mengungsi.

“Kita harus membangun ketahanan di negara-negara rentan ini,” katanya.

Miliband menambahkan bahwa cerita menakutkan tentang kerusakan iklim yang menciptakan krisis pengungsi baru terlalu dibesar-besarkan.

Baca Juga: Asrun Lio Bakal Dilantik Sebagai Sekda Sultra 11 Januari 2023

“Saya tidak setuju dengan bahasa pengungsi iklim ini, karena sebagian besar berada di dalam perbatasan negara mereka sendiri,” katanya.

“Tetapi saaya sepakat jika perubahan iklim memicu konflik. Lebih tepatnya perubahan iklim merupakan bagian dari pengganda konflik,” imbuhnya.

Baca Juga: Gadis Belia Asal Konawe Dilaporkan Hilang Setelah Dijemput Pria Tak Dikenal

Ugochi Daniels, wakil direktur jenderal Organisasi Internasional untuk Migrasi atau International Organization for Migration (IOM) mengaku ingin melihat lebih banyak fokus pada hubungan antara krisis iklim dan pengungsian.

“Kami di IOM sangat senang dengan solidaritas kolektif yang disampaikan Cop27. Dimasukkannya persoalan migran dalam sebuah kesepakatan, menandai langkah maju yang signifikan atas pengakuan sentralitas mobilitas manusia menuju adaptasi yang berhasil, terutama terhadap dampak cuaca ekstrem,” ujarnya.

Baca Juga: Drama Penangkapan Lukas Enembe, Kantor Mako Brimob Sempat Diamuk Massa

Dia juga mengapresiasi resolusi untuk membentuk dana pengganti kerugian dan kerusakan baru.

“Kami melihat perkembangan tersebut sangat penting, di tahun-tahun mendatang, demi menyelamatkan nyawa dan mengurangi dampak terburuk perubahan iklim, khususnya di negara-negara yang rentan," kata Daniels.

Baca Juga: Kasus Dugaan Penipuan Seret Nama Ketua DPC Garuda Kolaka, Ini Penjelasan Polda dan Kejati Sultra

Daniels memperkirakan, lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia akan mengungsi pada tahun 2030 karena berbagai faktor termasuk krisis iklim. Daniels bilang, meski  Sebagian besar dari mereka cenderung tetap berada di dalam perbatasan negara mereka, tetapi resiko dan dampaknya akan sangat luas.

“Dampak krisis iklim terhadap mobilitas manusia sangat signifikan, dan itu harus diakui,” kata Daniels.

Nasib perempuan dan anak juga membutuhkan perhatian lebih, tambahnya.

Baca Juga: Kesaksian Warga Soal Musibah Kebakaran 1 Rumah Indekos di Kendari

“Ada dampak khusus pada perempuan dan anak-anak. Perempuan seringkali berada dalam situasi yang rentan, dan memiliki akses yang lebih sedikit ke sumber daya, baik itu uang, tanah, pendidikan atau kesehatan, dan mereka seringkali berperan sebagai pengasuh atau menanggung beban keluarga mereka,” ungkap Daniels.

Penasihat Khusus UNHCR untuk aksi Iklim, Andrew Harper mengatakan, negara-negara kaya harus mulai menganggap serius kebutuhan untuk membantu negara-negara miskin beradaptasi dengan dampak cuaca ekstrem, yang konsekuensinya sekarang sudah terlihat jelas.

Halaman:

Editor: Mirkas

Sumber: theguardian.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x