Memaknai Sejarah Isra Mi'raj sebagai Peristiwa Sakral Bagi Umat Islam

- 17 Februari 2023, 22:09 WIB
Ilustrasi Isra Mi'raj-siluer masjid
Ilustrasi Isra Mi'raj-siluer masjid /Pixabay.com/Engin_Akyurt/

KENDARI KITA-Isra Mi'raj merupakan bagian peristiwa sakral dalam peradaban Islam di dunia.

Secara etimologi, Isra Mi'raj berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yakni "isra" yang berarti perjalanan di malam hari, dan "mi'raj" yang berarti kenaikan.

Isra Mi'raj merupakan perjalanan suci yang secara kasat mata hanya terjadi semalam saja.

Baca Juga: Sekjen Kemenkumham RI:Wujudkan Humas Berkualitas, Jangan Main-main dengan Narkoba

Namun Nabi Muhammad SAW, melampaui ruang dan waktu yang panjang didalam perjalanannya ini.

Di masa kini, peristiwa seperti ini sering dikaitkan dengan time travel atau penjelajahan dimensi waktu.

Namun bagi umat Islam, Isra Mi'raj bukan time travel semata, melainkan peristiwa penting yang sakral dan nyata.

Baca Juga: Toko Cahaya Gemilang Kendari Terbakar, 4 Unit Mobil Operasional Damkar Dikerahkan Memadamkan Api

Peristiwa Isra Mi'raj dijelaskan dalam kitab suci Al Qur'an Surat Al Isra ayat 1 dan Surat An Najm ayat 13-18.

Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menunaikan shalat lima waktu sehari semalam dalam perjalanan sakral ini.

Isra Mi'raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.

Baca Juga: Update Info Gempa di Kendari: Bermagnitudo 3,4 SR, Epicentrum Timur Laut Sampara

Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi'ĺraj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M.

Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi'raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.

 

Di tahun 2023 Isra Mi'raj jatuh pada hari Sabtu,  tanggal 18 Februari 2023, atau 27 Rajab.

Baca Juga: Petugas Pantarlih Digigit Anjing, Luka Gigitan Membengkak, Tak Kunjung Diberi Vaksin Rabies

Isra Mi'raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekedar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul.

Peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah sekaligus titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. 

Isra adalah perjalanan malam dari Makkah menuju Masjidil Al Aqsa sedangkan Mi'raj adalah perjalanan dari Masjidil Al Aqsa menuju Sidratul Muntaha.

Baca Juga: Jadwal Acara TV di Indosiar, Jumat 17 Februari 2023 : Timnas U20 Matchday Live dan BRI Liga 1

Perjalanan Isra’ Mi'raj adalah perjalanan yang penuh dengan 'kejutan' di mana Rasulullah diperlihatkan Allah SWT secara langsung keadaan orang-orang yang disiksa di neraka serta keadaan orang-orang yang berada di surga.

Selain itu, Rasulullah juga dipertemukan dengan para nabi terdahulu.

Isra Mi'raj inilah yang menandai perintah sholat lima waktu oleh Allah kepada Rasulullah dan umat nya hingga akhir zaman.

Baca Juga: Kadin Sultra Kirim 34 Ton Ikan Beku ke Jawa Timur, Kepala PPS Kendari Beri Apresiasi

Peristiwa demi peristiwa Isra Mi'raj ini terangkai dalam waktu yang singkat secara kasat mata.

Padahal hakikatnya, atas izin Allah, Rasulullah menempuh perjalanan panjang nan jauh didalamnya.

Puncak Isra’ Miraj adalah pertemuan Rasulullah dengan Allah di Sidratul Muntaha.

Baca Juga: Harga Emas Antam 17 Februari 2023: Stagnan di level Rp 1.019.000 per Gram

Lantas, apakah pertemuan ini berarti Rasulullah melihat Allah secara langsung tanpa perantara?

Sahabat nabi memiliki dua pendapat ihwal pertanyaan ini yaitu:

Pertama, menurut sayyidah ‘Aisyah Rasulullah tidak melihat Allah di Sidratul Muntaha tetapi ia melihat malaikat Jibril. Hal ini dikuatkan dengan hadits:

Baca Juga: Tak Tersentuh Program Kendari Terang, Warga Wuawua Keluhkan Minimnya Penerangan Jalan

“Diceritakan Masruq bahwa beliau mengatakan, ‘Aku masuk ke (rumah) Aisyah, aku bertanya 'Apakah Muhammad (pernah) melihat Tuhannya?’ Aisyah menjawab ‘Sungguh engkau menanyakan sesuatu yang membuat kulitku merinding.’ Aku (Masruq) mengatakan, ‘Tunggu sebentar.’ Kemudian aku (Masruq) membacakan ayat ‘Sungguh, dia (Muhammad) telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesarannya) Tuhannya yang paling besar,’ (Qs An-Najm ayat 18). Aisyah menjawab, ‘Sungguh dia (yang dilihat nabi Muhammad) adalah Jibril," (HR Turmudzi).

Kedua, menurut  sahabat Ibnu Abbas Rasulullah melihat Allah secara langsung dengan hatinya. Hal ini dikuatkan dengan hadits:

“Diceritakan dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ‘Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya,’ (Qs An-Najm ayat 11), beliau (Ibnu Abbas) mengatakan, ‘Ia (Muhammad) melihatnya (Allah) dengan hatinya," (HR Daruquthni).

Baca Juga: Warga Wuawua Dihantui Pencemaran Limbah TPAS Puwatu, Pemkot Diminta Segera Bertindak

Praktiknya adalah Allah menjadikan penglihatan nabi Muhammad di dalam hatinya atau Allah menciptakan hati dalam penglihatan Nabi Muhammad.

Alhasil Nabi Muhammad melihat Allah dengan hati dan penglihatannya adalah sesuai dengan firman Allah,

“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya,” (Qs An-Najm ayat 11).

Baca Juga: Lirik Lagu Haruskah Aku Mati yang Dipopulerkan Arief Putra, Tentang Kepedihan Hati Seseorang

Dan tidak mustahil bagi Allah menjadikan hati nabi Muhammad sebagai alat untuk melihat Allah sebagaimana Allah menciptakan penglihatan sebagai alat melihat bagi manusia pada umumnya. (Ar-Razi Fakhruddin, Mafatihul Ghaib [Beirut: Dar Ihya Turats, 2010 M], juz XXVIII, halaman 246).

Ada beberapa catatan Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad melihat Allah ketika Isra Mi'raj,  yaitu:

1. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah menetap ataupun menyatu dengan Sidratul Muntaha karena Allah tidak mungkin membutuhkan pada Sidratul Muntaha yang merupakan ciptaanNya sebagai tempat menetap.

Baca Juga: Dukcapil Kemendagri: Pengurus Korpri Harus Mengakses Layanan KTP Digital

Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Qiyamuhu bi Nafsihi, Allah berdiri sendiri tanpa membutuhkan bantuan makhluk ciptaan-Nya.

Seandainya Allah membutuhkan Sidratul Muntaha sebagai tempat menetap niscaya hal ini akan merusak sifat Qiyamuhu bi Nafsihi.

2. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah terbatasi oleh jihah (arah mata angin) karena tidak mungkin Allah terbatasi dengan jihah (arah mata angin) sebagaimana makhlukNya.

Baca Juga: Kriteria Puasa Ramadhan yang Berkualitas Menurut Imam Al Ghazali

Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Mukhalafah lil Hawadits, Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaanNya.

Seandainya Allah dibatasi dengan jihah (arah mata angin) sebagaimana manusia yang bisa dipastikan menetapnya di arah tertentu seperti arah selatan atau utara niscaya akan merusak sifat Mukhalafah lil Hawadits.

3. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah terbentuk dari jism (bentuk tubuh) karena tidak mungkin Allah berbentuk jism (bentuk tubuh) sebagaimana makhluknya.

Baca Juga: Masyarakat Konawe Jadi Sasaran Edukasi Pengenalan Investasi, Pinjaman Ilegal, dan Soceng

Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Mukhalafah lil Hawadits, Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaanNya.

Seandainya zat Allah berupa cahaya berwarna putih atau memiliki anggota tubuh dan sejenisnya sebagaimana makhlukNya niscaya akan merusak sifat Mukhalafah lil Hawadits. (Ad-dardir Ahmad, Syarh Qishah al-Isra’ wal Miraj [Kairo: Maktabah Azhar li Turats, 1999 M], halaman 24).

Nabi Muhammad melihat Allah tidaklah sama dengan proses manusia biasa seperti kita melihat.

Baca Juga: Jajal Pasar Global, Kadin Sultra Ekspor 51 Ton Komoditas Perikanan

Akan tetapi, Allah memberikan kemampuan khusus bagi Nabi Muhammad ketika itu sehingga beliau dapat melihat langsung kepada Allah.

Hal ini dikarenakan Allah memberikan kemampuan melihat kepada hambanya tidak terbatas dengan 'mata kepala' saja.

Allah memberikan kemampuan melihat kepada hambaNya di waktu dan tempat yang telah Allah tentukan. (Al-Laqqani Abdussalam, Ithaf al-Murid Syarh Jauhar at-Tauhid [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2002] hal.202).

Baca Juga: Florist Ini Mengirim Ratusan Karangan Bunga Kepada Para Janda di Hari Valentine

Dan melihat Allah adalah sesuatu yang mungkin terjadi (jaiz), karena Allah adalah zat yang maujud (ada), sedangkan perkara yang maujud (ada) mungkin untuk dilihat.

Akan tetapi, Allah tidak mengizinkan bagi manusia biasa untuk melihatNya ketika di dunia kecuali Nabi Muhammad ketika berada di Sidratul Muntaha.

Hal ini dikuatkan dengan hadits:

“Rasulullah bersabda "Ketahuilah kalian semua bahwa tidaklah salah satu diantara kalian meilhat Tuhannya hingga ia mati," (HR Muslim).

Baca Juga: Petugas Pantarlih di Desa Wansugi Dilarikan ke Puskesmas Gegara Digigit Anjing Saat Mencoklit

Menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, nantinya orang-orang yang beriman melihat Allah di hari kiamat dengan jelas tanpa penghalang sedikitpun sebagaimana seseorang melihat rembulan di waktu purnama.

Hal ini dikuatkan dengan hadits:

“Rasulullah bersabda ‘Ketahuilah kalian semua bahwa tidaklah salah satu diantara kalian meilhat Tuhannya hingga ia mati,"(HR Muslim).

Menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, nantinya orang-orang yang beriman melihat Allah di hari kiamat dengan jelas tanpa penghalang sedikitpun sebagaimana seseorang melihat rembulan di waktu purnama.

Baca Juga: Pemerintah dan DPR Sepakati Besaran Rata-rata Biaya Perjalanan Ibadah Haji 2023

Hal ini dikuatkan dengan hadits:

Artinya, “Diceritakan dari Jarir bin Abdullah bahwa beliau mengatakan, ‘(suatu ketika) Kami duduk bersama Rasulullah ketika melihat bulan purnama, kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sungguh kalian akan melihat tuhan kalian (di hari kiamat) sebagaimana kalian melihat rembulan ini,’’ (HR Daruquthni).

Kesimpulannya, peristiwa nabi Muhammad melihat Allah ketika malam Isra Mi'raj adalah peristiwa yang diperdebatkan oleh para sahabat nabi.

Akan tetapi, perbedaan pendapat ini tidak sampai menjadikan para sahabat nabi saling mengkafirkan maupun membid’ahkan ataupun menganggap sesat kepada kelompok yang berbeda pendapat.

Baca Juga: Pakar Kesehatan Mental: Orang yang Memiliki Pasangan Cerdas Cenderung Terhindar dari Resiko Demensia

Hal ini menjadi bukti bahwa melihat Allah adalah hal yang mungkin terjadi secara akal.

Berbeda halnya dengan pendapat Mutazilah yang mengatakan bahwa melihat Allah adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi baik di dunia maupun di akhirat.(Ar-Razi, 2010: XIII/103).***

 

Editor: Mirkas

Sumber: Berbagai sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x